RI Setujui Perusahaan Inggris Ini Garap Harta Karun di Natuna

Gethya Nabilla

Perusahaan asal Inggris, Premier Oil, mendapatkan persetujuan rencana pengembangan atau Plan of Development (POD) Pertama Lapangan Tuna di Wilayah Kerja (WK) atau Blok Tuna, perairan Natuna.

Persetujuan tersebut diberikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berdasarkan rekomendasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyampaikan, persetujuan POD Pertama Lapangan Tuna ini menunjukkan bahwa daya saing investasi hulu migas RI masih menjanjikan. Dengan demikian, mampu menarik investor dunia untuk datang ke Indonesia.

Menurut Dwi, lokasi Lapangan Tuna sendiri memiliki risiko tinggi, namun dengan dukungan insentif dan fleksibilitas yang diberikan pemerintah, maka ini diharapkan dapat meningkatkan keekonomian Lapangan Tuna itu sendiri. Dengan begitu, POD Pertama Lapangan Tuna dapat direalisasikan dengan lancar.

Perkiraan biaya investasi untuk pengembangan Lapangan Tuna (di luar sunk cost) diperkirakan mencapai US$ 1,05 miliar, investasi terkait biaya operasi sampai dengan batas keekonomian (economic limit) sebesar US$ 2,02 miliar dan biaya Abandonment and Site Restoration (ASR) sebesar US$ 147,59 juta.

Dengan masa produksi yang diperkirakan sampai 2035, maka pemerintah akan mendapatkan pendapatan kotor sebesar US$ 1,24 miliar atau setara dengan Rp 18,4 triliun.

Sementara pendapatan kotor dari kontraktor atau produsen sebesar US$ 773 juta atau setara dengan Rp 11,4 triliun dengan biaya cost recovery mencapai US$ 3,315 miliar.

"Investasi Lapangan Tuna sangat besar dari sejak proyek hingga operasional sampai economic limit dengan nilai investasi mencapai 3,070 miliar dolar atau setara dengan Rp 45,4 triliun sehingga akan turut memperkuat dan menggerakkan perekonomian nasional," kata Dwi, seperti dikutip dari keterangan resmi SKK Migas.

Dwi menyebut, perkiraan penerimaan negara akan lebih besar dibandingkan bagian kontraktor menunjukkan bahwa kepentingan negara masih pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan kontraktor.

"Hal ini menunjukkan pemberian insentif untuk meningkatkan keekonomian Lapangan Tuna tetap menempatkan kepentingan negara pada posisi yang tinggi. Bahwa negara harus mendapatkan manfaat terbesar sebagaimana amanah UUD 1945 Pasal 33," kata Dwi.

Dwi menilai pengelolaan hulu migas di wilayah perbatasan, seperti di Blok Tuna, tentu tidak hanya bermakna hitung-hitungan ekonomi semata. Namun juga ada kepentingan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Persetujuan POD Pertama kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan proyek di Lapangan Tuna, maka akan ada aktivitas di wilayah perbatasan yang masuk salah satu hot spot geopolitik dunia. Bendera merah putih akan berkibar di lokasi proyek," katanya.

artikel terbaru